Aceh, Sumut dan Sumbar kembali basah oleh air mata bumi. Banjir yang meluap hari-hari ini bukan sekadar peristiwa alam, tetapi sebuah gema yang mengetuk ruang batin masyarakat Aceh, Sumut dan Sumbar, terkhusus aceh yang merupakan sebuah bangsa yang trauma tsunaminya belum benar-benar sembuh, luka kolektifnya belum sepenuhnya kering, dan ingatan pahitnya masih tersimpan di sumsum sejarah.
Ketika tanah Aceh dan sekitarnya kembali ditimpa bencana, masa lalu seakan terbangun dari tidur panjang. Mereka yang selamat dari tsunami dua puluh tahun silam kembali merasakan getar yang sama: getir, takut, dan pasrah.
Bagi sebagian, banjir ini adalah ujian baru; bagi sebagian lain, ini adalah pembuka ingatan yang menyayat. Karena setiap air yang naik, seakan mengangkat kembali kisah dan duka yang pernah ditenggelamkan.
Namun bencana bukan hanya mengenai yang wafat. Ia juga tentang siapa yang hidup.
Tentang anak-anak kecil yang dua puluh tahun lalu kehilangan ayah-ibunya yang kini telah dewasa, menjadi pemuda-pemudi Aceh. Tentang anak perempuan yang kini telah menjadi gadis; tentang anak laki-laki yang kini menjadi jejaka. Mereka sudah tumbuh… tapi di mana mereka sekarang? Di pundak siapa mereka dibesarkan? Di rumah siapa air mata mereka mengering? Dengan nilai apa mereka ditempa? Dengan agama apa mereka dibimbing?
Inilah pertanyaan yang sering tak tertulis dalam laporan bencana: manusia-manusia yang tersisa.
Demikian pula setiap kali terjadi perang, kapal tenggelam, pesawat jatuh, atau banjir bandang yang tertinggal bukan hanya statistik, tetapi jiwa-jiwa rapuh yang masih perlu dipeluk, dipandu, dan dipertahankan imannya.
Bayangkan di lokasi bencana: mobil-mobil asing berkeliling; anak-anak yang menangis dibawa ke kapal besar jauh dari daratan; diberi makanan, pakaian, hiburan, terapi psikologi, ditemani nyanyian dan dongeng.
Mereka dihangatkan dan secara perlahan dilupakan dari masa lalu dan agamanya. Kemudian suatu hari mereka dikembalikan: kulit sama, bahasa sama, senyum sama, tetapi keyakinan tidak lagi sama.
Begitu lembut, begitu rapi, begitu sunyi.
Di sinilah pesan dan tanggung jawab spiritual menjadi sangat nyata:
“في أي أرض تطأ فأنت مسؤول عن اسلامها”
Di bumi mana pun kau berpijak, engkau bertanggung jawab atas Islam di tempat itu.
Maka dalam setiap bencana, pertanyaan paling sunyi dan terdalam adalah: Apakah kita menghadirkan kembali manusia iman, martabat, dan masa depannya atau kita hanya mengirim bantuan lalu kembali tidur?
Di sinilah Gontor hadir bukan sebagai institusi, tetapi sebagai ruh peradaban. Cabang-cabangnya di Aceh, Poso, padang dan wilayah-wilayah lain adalah jembatan bagi anak-anak yang ditinggalkan bencana untuk kembali menemukan arah hidup dan arah iman.
IKPM Gontor menjadi perekat, bukan hanya penjaga identitas, tapi penjaga masa depan. Inilah bantuan terbesar: membangun manusia, bukan sekadar memberi bantuan kemanusiaan.
Karena bencana memang menenggelamkan tanah, tetapi ketidakpedulian dapat menenggelamkan generasi.
Kini, Aceh, Sumut dan Sumbar kembali membutuhkan kita.
Banjir adalah panggilan.
Bukan hanya bagi logistik dan doa, tetapi bagi kesadaran.
Bahwa setiap bencana adalah majlis dzikir, tempat bumi mengingatkan langit.
Bahwa Allah menegur bukan untuk menghukum, tetapi untuk membangunkan.
Bahwa dalam air yang meluap itu, ada pesan lembut:“Bangkitlah, rawatlah manusia, jangan biarkan imannya hanyut.”
Maka mari menolong Aceh, Sumut dan Sumbar dengan mata yang jernih dan hati yang dalam.
Dengan empati, dengan ilmu, dengan kesanggupan menjaga anak-anak yang terselamatkan dari banjir hari ini dan dari tersesatnya keyakinan di hari esok.
Karena bencana mungkin berlalu. Tetapi amanah keislaman tidak pernah berakhir.
Gontor, 02 Desember 2025
Ditulis oleh Al Ustadz H. Noor Syahid, M.Pd. dan Al Ustadz H. Prof. Dr. Nurhadi Ihsan, MIRKH.
