Surabaya — Reuni Akbar dan Tajammuk Abu Sittin 2025 digelar di Surabaya sebagai ruang temu, refleksi, dan konsolidasi visi antarsesama alumni dalam bingkai perjuangan pendidikan. Rangkaian kegiatan dimulai pada Sabtu malam (4/10) di Hotel Sahid Surabaya dengan agenda silaturahim dan pembukaan, dilanjutkan napak tilas sejarah ke Pondok Hamidiyyah Siwalan Panji pada Ahad pagi (5/10), serta ditutup dengan acara inti bersama Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor pada Ahad malam.

Acara ini turut dihadiri langsung oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH. Hasan Abdullah Sahal dan KH. Drs. M. Akrim Mariyat, Dipl.A.Ed. beserta beberapa anggota Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor. Hadir pula para ketua lembaga, di antaranya Direktur KMI Al-Ustadz H. Masyhudi Subari, M.A., serta Ketua YPPWPM Al-Ustadz H. Ismail Abdullah Budi Prasetyo, S.Ag. Dari Pimpinan Pusat IKPM Gontor turut hadir Al-Ustadz H. Noor Syahid, M.Pd., Al-Ustadz H. Saepul Anwar, M.Pd., Al-Ustadz Drs. H. Rif’at Husnul Ma’afi, M.Ag., dan Al-Ustadz Dr. H. Umar Said Wijaya, M.Pd. Kehadiran para tokoh ini semakin menambah makna dan kekhidmatan reuni akbar tersebut.

Dalam acara pembukaan, KH. M. Akrim Mariyat, Dipl.A.Ed., menyampaikan bahwa reuni marhalah adalah wadah strategis untuk menyambung gagasan dan menguatkan visi bersama di antara alumni. “Reuni seperti ini tidak sekadar temu kangen. Ia menjaring ide, menghidupkan semangat, dan menyatukan arah meskipun karakter kita berbeda. Visi tetap satu: li i‘lâi kalimatillâh,” ungkapnya.
Beliau menegaskan bahwa ruh pendidikan harus menjadi pijakan utama perjuangan alumni. Marhalah bukan sekadar ikatan emosional, melainkan barisan yang menjaga nilai, menyambung sanad pemikiran, dan mendidik umat. “Kita ini lembaga pendidikan, maka tujuan kita adalah mendidik. Kegagalan pendidikan adalah ketika alumni tidak lagi bangga dengan almamaternya,” tutur beliau.
Dalam pembukaan tersebut, KH. M. Akrim Mariyat, DIipl.A.Ed. juga mengingatkan tentang kesederhanaan sebagai ciri pondok. Kesederhanaan bukan berarti minim gerak, tetapi fokus pada hal yang dibutuhkan dan menjauh dari hal yang tak perlu. Pendidikan, menurut beliau, harus berpandangan ke depan dan melahirkan generasi yang memiliki rasa memiliki terhadap perjuangan pondok.

Rangkaian reuni berlanjut pada keesokan harinya, Ahad pagi (5/10) melalui kegiatan napak tilas ke Pondok Pesantren Al-Hamdaniyyah Siwalan Panji, Sidoarjo. Pesantren ini dikenal sebagai salah satu pondok tertua di Jawa Timur, berdiri pada tahun 1787 oleh KH. Hamdani, dan telah melahirkan banyak ulama besar Nusantara.

Napak tilas ini tidak hanya bersifat ziarah sejarah, tetapi juga peneguhan kembali akar keilmuan Trimurti pendiri Gontor—karena para pendiri PMDG tercatat pernah belajar di lingkungan pesantren tersebut. Para peserta diajak menyusuri jejak pembentukan jaringan keilmuan yang menghubungkan Siwalan Panji dengan lahirnya Gontor sebagai pusat pendidikan modern bernilai pesantren.
Dalam kegiatan tersebut juga disinggung hubungan historis dengan Pondok Pesantren Khoziniyyah (Al-Khoziny) yang baru-baru ini mengalami musibah. Momen ini menjadi refleksi ukhuwah pesantren dan pengikat batin antarsanad perjuangan.

Para alumni diajak menelusuri bangunan tua, asrama klasik, dan peninggalan ulama terdahulu sembari mendengarkan sejarah bagaimana ilmu, akhlaq, dan jaringan santri dahulu menjadi fondasi lahirnya pembaharuan pesantren di tanah Jawa. Napak tilas ini meneguhkan kesadaran bahwa pendidikan tidak hanya diwariskan melalui kitab, tetapi melalui ruh perjuangan.

Pada Ahad malam, Pimpinan PMDG, KH. Hasan Abdullah Sahal, menyampaikan pengarahan dalam acara inti yang digelar kembali di Hotel Sahid Surabaya. Dalam tausiyahnya, beliau mengingatkan bahwa Gontor berdiri bukan karena ambisi manusia, melainkan karena masyi’atullah. “Gontor dulu berdiri di panggon kotor, kini menjadi panggon inspirator. Perubahan itu lahir dari ruh, bukan dari klaim,” ujarnya.
Beliau juga menegaskan bahwa zaman kini menuntut hadirnya inspirator baru sebagaimana Trimurti pada masanya. “Sekarang pertanyaannya bukan ‘di mana orang maksiat?’, tapi ‘di mana tidak ada orang maksiat?’. Realitasnya ada di mana-mana. Maka yang kita butuhkan adalah penegak nilai, bukan pengeluh zaman,” tegasnya.
KH. Hasan Abdullah Sahal menyoroti urgensi menghidupkan kembali ikramul ‘ilmi wal ulama, karena dewasa ini banyak yang menguasai kitab tanpa ruh. Beliau juga mengingatkan bahwa kebenaran Islam kini tidak sekadar dilemahkan, tetapi dibonsai dan diaborsi dalam ruang sosial modern.

Beliau menekankan bahwa reuni ini bukan nostalgia, tetapi konsolidasi peran. Alumni diharap menjadi kekuatan nyata yang menguatkan pondok melalui jejaring PC IKPM Gontor, bukan sekadar penonton atau penikmat masa lalu. “Sudah bukan masanya menunda. Menuju 100 tahun kedua, kita harus berjalan, bukan menunggu,” tutup beliau.
Melalui pembukaan yang reflektif, napak tilas yang historis, dan acara inti yang visioner, Reuni Akbar dan Tajammuk Abu Sittin 2025 Surabaya meneguhkan kembali peran alumni sebagai penjaga nilai, pelanjut cita-cita pendidikan, dan penguat jaringan perjuangan. Kegiatan ini menjadi ruang menyambung ruh, meneguhkan ukhuwah, dan menatap masa depan dengan pandangan yang lebih kokoh dan terarah.
Reporter: Haidar Ali Sya’bana
Reviewer: Muhammad Idris Ramli